Minggu, 24 Agustus 2008

Memahami Makna Shalat


A.Pengertian Sholat
Secara bahasa, kata sholat menurut para pakar bahasa adalah berarti doa. Shalat diartikan dengan doa, karena pada hakikatnya shalat adalah suatu hubungan vertikal antara hamba dengan Tuhannya, sebagaimana sabda Nabi SAW, yang artinya: “Sesungguhnya hamba, apabila ia berdiri untuk melaksanakan shalat, tidak lain ia berbisik pada Tuhannya. Maka hendaklah masing-masing di antara kalian memperhatikan kepada siapa dia berbisik”. Adapun secara istilah, definisi shalat adalah sebuah ibadah yang terdiri dari beberapa perkataan dan perbuatan yang sudah ditentukan aturannya yang dimulai dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam. Lebih jauh, definisi ini merupakan hasil rumusan dari apa yang disabdakan Nabi SAW: yang artinya: “Shalatlah kalian, sebagaimana kalian melihat aku shalat”. Dengan demikian, dasar pelaksanaan shalat adalah shalat sebagaimana yang sudah dicontohkan Nabi SAW mulai bacaan hingga berbagai gerakan di dalamnya, sehingga tidak ada modifikasi dan inovasi dalam praktik shalat.

B.Posisi Shalat Dalam Islam
Dalam Islam, shalat menempati posisi penting dan strategis. Ia merupakan salah satu rukun Islam yang menjadi pembatas apakah seseorang itu mukmin atau kafir. Nabi SAW bersabda:
Artinya:
“Perjanjian yang mengikat antara kami dan mereka adalah mendirikan shalat. Siapa yang meninggalkannya, maka sunbgguh dia telah kafir”.

Sedemikian pentingnya shalat, maka ibadah shalat dalam Islam tidak bisa diganti atau diwakilkan. Orang Islam masih diwajibkan shalat, selagi masih ada kesadaran di hatinya. Oleh karena itu, pelaksanaan shalat bisa dilakukan dengan berbagai cara, tergantung pada keadaan pelakunya (kalau tidak bisa berdiri boleh duduk, kalau tidak bisa duduk boleh berbaring, dan seterusnya).

C.Kandungan Makna Shalat
Berdasarkan paparan mengenai pentingnya posisi shalat dalam Islam di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Shalat merupakan faktor terpenting yang menyanga tegaknya agama Islam. Oleh karena itu, sudah sepatutnya, umat Islam memahami maknanya dengan sebaik-baiknya. Dalam hal ini, secara umum, ada dua dimensi kandungan makna shalat yang dapat dipetik, yaitu dimensi individual (sifatnya kedalam) dan dimensi sosial (sifatnya keluar), karena sebagaimana definisi di atas, shalat adalah suatu ibadah yang diawali dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam. Takbiratul ihram menunjuk pada dimensi individual, sedangkan salam menunjuk pada dimensi sosial.

1.Dimensi Individual
Shalat diawali dengan bacaan ‘takbiratul Ihram”, yang mengandung arti “Takbir yang mengharamkan”, yakni mengharamkan segala tindakan dan dan tingkah laku yang tidak ada kaitannya dengan shalat sebagai peristiwa menghadap Tuhan. Takbir pembukaan itu seakan-akan suatu pernyataan resmi seseorang membuka hubungan diri dengan Tuhan, dan mengharamkan atau memutuskan hubungan diri dari semua bentuk hubungan dengan sesama manusia. Dengan demikian, takbiratul ihram merupakan ungkapan pernyataan dimulainya sikap menghadap kepada Allah.

Selanjutnya, sikap menghadap Allah tersebut akan mengantarkan seorang hamba untuk benar-benar menyadari bahwa saat itu (posisi shalat) ia sedang menghadap Khalik-nya. Oleh karenanya, dalam shalat, dianjurkan sedapat mungkin seseorang menghayati kehadirannya di hadapan Sang Maha Pencipta, sehingga seolah-olah ia melihat-Nya, dan kalaupun ia tidak melihat-Nya, ia harus menginsyafi sedalam-dalamnya bahwa Sang Maha Pencipta melihat dia.

Dari sini, jelas bahwa dalam shalat, seseorang diharapkan hanya melakukan hubungan vertikal dengan Allah, dan tidak diperkenankan melakukan hubungan dengan sesama makhluk (kecuali dengan keadaan terpaksa). Oleh karena itu, dalam literatur kesufian berbahasa Jawa, shalat dipandang sebagai “mati sajeroning urip” (mati dalam hidup). Di sinilah kemudian shalat juga sering disebut dengan ‘Mi’rajul mukminin’, dikiyaskan dengan mi’raj Nabi SAW, karena sama-sama merupakan peristiwa menghadapnya seorang hamba kepada Tuhannya.

2.Dimensi Sosial
Shalat diakhiri dengan salam, hal ini maksudnya bahwa setelah seorang hamba melakukan hubungan (komunikasi) yang baik dengan Allah, maka diharapkan hubungan yang baik tersebut juga berdampak pada hubungan yang baik kepada sesama manusia. Dengan kata lain, jika seorang hamba dengan penuh kekhusyu’an dan kesungguhan menghayati kehadiran Tuhan pada waktu shalat, maka diharapkan bahwa penghayatan akan kehadiran Tuhan itu akan mempunyai dampak positif pada tingkah laku dan pekertinya, kaitannya dengan kehidupan sosial.

Berkenaan dengan ini, salah satu firman Allah yang banyak dikutip adalah QS. Al-Ankabut: 45:
Artinya:
Bacalah apa yang Telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan Dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain), dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Dengan jelas ayat di atas menunjukkan bahwa salah satu yang dituju oleh adanya kewajiban shalat adalah bahwa pelakunya menjadi tercegah dari kemungkinan berbuat jahat dan keji. Hanya saja, dalam hal ini ulama berbeda pendapat ketika melihat kenyataan bahwa masih banyak di antara umat Islam yang shalat, tetapi shalatnya tidak menghalanginya dari melakukan perbuatan keji dan munkar.

Satu pendapat menyatakan bahwa shalat memang dapat mencegah pelakunya dari melakukan perbuatan keji dan munkar, maka apabila ada seseorang yang sudah mengerjakan shalat, tetapi ia tetap melakukan perbuatan keji dan munkar, sebenarnya ia telah melakukan kegagalan dan kesia-siaan yang hal itu jauh lebih keji dan munkar. Orang seperti inilah yang disindir al-Qur’an sebagai orang yang lalai dalam shalat, yang kelak aakan mendapatkan siksa. Lihat QS. Al-Maun: 4-5:
Artinya:
Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya,

Adapun satu pendapat yang lainnya mengatakan bahwa shalat adalah ibadah yang pelaksanaannya membuahkan sifat keruhanian dalam diri pelakunya yang menjadikannya tercegah dari perbuatan keji dan munkar. Oleh karenanya, orang yang melaksanakan shalat, hati, pikiran, dan fisiknya menjadi bersih. Dengan demikian, shalat adalah cara untuk menggali potensi ruhaniah dalam rangka membersihkan diri dari sifat-sifat buruk dan tidak terpuji. Akan tetapi hal ini, tentu tidak berlaku secara otomatis.

Maksudnya, jika telah mengerjakan shalat, maka tidak otomatis ia menjadi orang yang baik, sebab boleh jadi dampak dari potensi itu tidak muncul karena adanya hambatan-hambatan, seperti lemahnya penghayatan terhadap kehadiran Tuhan. Oleh karena itu, setiap pelaku shalat dituntut untuk selalu menghidupkan segala perilaku dan bacaan shalat tidak hanya dalam shalat, tetapi juga di luar shalat, lebih-lebih ditambah dengan bacaan-bacaan dzikir, sehingga penghayatan akan kehadiran Tuhan senantiasa terpelihara dalam setiap langkah kehidupannya. Di sini jugalah salah satu hikmah mengapa shalat waktunya berbeda-beda; dimulai dari dini hari (Shubuh), diteruskan ke siang hari (Dzuhur), kemudian sore hari (Asar), lalu sesaat setelah matahari terbeam (Maghrib), dan akhirnya di malam hari (Isya’). Hal ini agar terus terjadi proses pengingatan dan penghayatan kehadiran Tuhan, sehingga shalat dapat berfungsi sebagai pencegah dari melakukan perbuatan keji dan munkar, yang pada akhirnya tercipta kesejahteraan dan kedamaian antar sesama manusia; “assalamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh”. Wallahu A’lam Bish-Shawwab!

Indahnya Bersedekah


Di setiap perempatan jalan raya di kota-kota besar, termasuk Yogyakarta, seringkali berseliweran para pengemis yang menadahkan tangannya kepada para pengendara yang menunggu lampu hijau untuk melanjutkan perjalanannya. Perempuan maupun lelaki pengemis muncul di hadapan kita, sungguh sebagai keadaan dirinya maupun hasil rekayasa. Barangkali banyak di antara kita yang tahu betul mana pengemis sungguhan dan mana pengemis jadi-jadian. Dari sini kemudian kita seringkali berada dalam keraguan antara memberi atau tidak memberi. Kondisi seperti ini biasanya terus berulang setiap kali kita dihadapkan pada persoalan yang sama. Keraguan tersebut, sebenarnyalah bukan karena dipicu oleh keadaan orang yang meminta kepada kita, melainkan permasalahannya ada pada diri kita, “Sanggupkah kita memberikan sedekah kepada orang-orang yang berterus terang meminta kepada kita?”.


Memang, meminta dengan berpura-pura jadi pengemis jelas berbeda dengan meminta karena benar-benar ia pengemis. Tapi, tahu betulkah kita bahwa dugaan kita itu benar? Bukankah hanya Allah SWT saja yang Maha Tahu? Menghadapi keadaan seperti ini, maka sikap terbaik kiranya kita menggunakan asas praduga tak bersalah kepada para peminta. Dari sini, kita akan dapat bersedekah kepada siapa pun tanpa harus membebani diri dengan pertanyaan; siapakah sebenarnya pengemis itu? Demikian pula, kita juga akan dapat bersedekah dengan ikhlas tanpa harus ngedumel; jangan-jangan kita telah ditipu oleh pengemis itu. Niat kita memang ingin memberi, terlepas apakah pengemis itu menipu atau tidak kita serahkan kepada Allah SWT. Seandainya, memang benar pengemis itu menipu mudah-mudahan dengan keikhlasan kita, pengemis itu dapat memperoleh hidayah kembali ke jalan yang benar.


Kaitannya dengan hal ini, ada sebuah kisah menarik yang dikisahkan dalam hadis dari Abu Hurairah, dia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Seseorang berkata, 'Sungguh saya akan menyedekahkan sesuatu pada malam ini.' Kemudian dia memberikan sesuatu itu pada tangan seorang pezina. Keesokan harinya orang-orang menceritakan bahwa dia bersedekah kepada seorang pezina.

Orang itu berkata, 'Ya Allah, segala puji kepunyaan Engkau yang telah menetapkan sedekahku bagi pelacur. Sungguh saya akan bersedekah lagi pada malam ini.' Kemudian dia meletakkan di tangan orang kaya. Keesokan harinya orang-orang membicarakan bahwa pada malam itu dia bersedekah kepada orang kaya. Maka dia berkata, 'Ya Allah, kepunyaan Engkaulah segala puji yang telah menetapkanku bersedekah pada orang kaya. Sungguh, saya akan bersedekah lagi pada malam ini.' Kemudian, dia pergi dan menyimpan sedekah ditangan pencuri. Maka dia berkata, 'Ya Allah, kepunyaan Engkaulah segala puji yang telah menetapkanku sedekah bagi pezina, orang kaya dan pencuri.' Kemudian orang itu didatangi oleh seseorang seraya berkata kepadanya, 'Sedekahmu sudah diterima. Adapun sedekah yang sampai ke tangan pelacur, mudah-mudahan saja dia berhenti dari melacur; yang sampai orang kaya, mudah-mudahan saja dia mengambil pelajaran dan mau menginfakkan sebagian harta yang telah diberikan Allah kepadanya; dan yang sampai ke pencuri, mudah-mudahan saja menghentikan perbuatan mencurinya."

Demikian, sebaiknya kita menghadapi para peminta/pengemis, karena hal terpenting dalam bersedekah adalah keikhlasan. Memang kita harus selektif dalam bersedekah, akan tetapi sikap selektif tersebut jangan sampai menghalangi kita untuk tidak jadi bersedekah, karena sedekah pada dasarnya adalah pinjaman kita kepada Allah SWT. Dalam hal ini, Allah SWT berfirman: Siapa yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), Maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak” (QS. Al-Baqarah: 245). Di samping itu, Rasulullah juga bersabda: “Tidak akan berkurang harta yang disedekahkan bahkan akan bertambah”.

Kaitannya dengan hal di atas, ada sebuah kisah yang dikisahkan dalam kitab al-Mawaidh al-‘Ufuriyyah bahwa pada suatu hari Ali bin Abi Talib hanya mempunyai uang enam dirham. Dengan uang itu, ia ingin membelikan makanan buat kedua putranya; Hasan dan Husain. Namun, tiba-tiba ada seorang peminta yang mengadu kepadanya bahwa ia sangat membutuhkan uang. Lalu serta merta Ali memberikan semua uangnya. Ketika pulang dengan tangan kosong, istrinya Fatimah az-Zahra’ pun menanyakannya. Ali kemudian menjawab bahwa uangnya telah dipinjam Allah SWT.

Tidak lama kemudian, Ali bermaksud ingin menemui Nabi SAW. Di tengah jalan ia bertemu dengan seseorang yang sedang menuntun onta. Orang itu lalu menawarkan untanya kepada Ali. “Aku tidak punya uang”, kata Ali. “Bayarlah kemudian jika Engkau telah punya uang, dengan harga 100 dirham”, kata lelaki yang tidak dikenalinya itu.

Ketika Ali sedang menuntun ontanya, ia berjumpa dengan laki-laki lain, dan menawar ontanya dengan harga 300 dirham. Tanpa pikir panjang, Ali pun menjual ontanya itu. Uang 100 dirham lalu diberikannya kepada laki-laki pertama, sedangkan sisanya menjadi miliknya.

Begitulah pembayaran Allah kepada orang yang telah meminjami-Nya (menyedekahkan hartanya) dengan pembayaran berlipat ganda di dunia dan lebih-lebih kelak di akhirat.

Adapun bagaimana gambaran pembayaran Allah SWT kepada orang-orang yang bersedekah kelak di akhirat? Kiranya hal itu bisa ditangkap dari kejadian pada masa Nabi berikut ini.

Seperti yang telah biasa dilakukannya ketika salah satu sahabatnya meninggal dunia Rasulallah mengantar jenazahnya sampai ke kuburan. Dan pada saat pulangnya disempatkannya singgah untuk menghibur dan menenangkan keluarga almarhum supaya tetap bersabar dan tawakal menerima musibah itu.

Kemudian Rasulallah berkata,"tidakkah almarhum mengucapkan wasiat sebelum wafatnya?" Istrinya menjawab, saya mendengar dia mengatakan sesuatu di antara dengkur nafasnya yang tersengal-sengal menjelang ajal" "Apa yang di katakannya?", "Saya tidak tahu, ya Rasulallah, apakah ucapannya itu sekedar rintihan sebelum mati, ataukah pekikan pedih karena dahsyatnya sakaratul maut. Cuma, ucapannya memang sulit dipahami lantaran merupakan kalimat yang terpotong-potong.", "Bagaimana bunyinya?" desak Rasulallah. Istri yang setia itu menjawab,"suami saya mengatakan "Andaikata lebih panjang lagi....andaikata yang masih baru....andaikata semuanya...." hanya itulah yang tertangkap sehingga kami bingung dibuatnya. Apakah perkataan-perkataan itu igauan dalam keadaan tidak sadar,ataukah pesan-pesan yang tidak selesai?"

Rasulallah tersenyum."sungguh yang diucapkan suamimu itu tidak keliru," ujarnya. Kisahnya begini, pada suatu hari ia sedang bergegas akan ke masjid untuk melaksanakan shalat jum'at. Di tengah jalan ia berjumpa dengan orang buta yang bertujuan sama. Si buta itu tersaruk-saruk karena tidak ada yang menuntun. Maka suamimu yang membimbingnya hingga tiba di masjid. Tatkala hendak menghembuskan nafas penghabisan, ia menyaksikan pahala amal sholehnya itu, lalu iapun berkata "andaikan lebih panjang lagi".Maksudnya, andaikata jalan ke masjid itu lebih panjang lagi, pasti pahalanyalebih besar pula.

Ucapan lainnya ya Rasulallah?, tanya sang istri mulai tertarik. Nabi menjawab, "adapun ucapannya yang kedua dikatakannya tatkala, ia melihat hasil perbuatannya yang lain. Sebab pada hari berikutnya, waktu ia pergi ke masjid pagi-pagi, sedangkan cuaca dingin sekali, di tepi jalan ia melihat seorang lelaki tua yang tengah duduk menggigil, hampir mati kedinginan. Kebetulan suamimu membawa sebuah mantel baru, selain yang dipakainya. Maka ia mencopot mantelnya yang lama, diberikannya kepada lelaki tersebut. Dan mantelnya yang baru lalu dikenakannya. Menjelang saat-saat terakhirnya, suamimu melihat balasan amal kebajikannya itu sehingga ia pun menyesal dan berkata, "Coba andaikan yang masih yang kuberikan kepadanya dan bukan mantelku yang lama, pasti pahalaku jauh lebih besar lagi".Itulah yang dikatakan suamimu selengkapnya.

Kemudian, ucapannya yang ketiga, apa maksudnya, ya Rasulallah?" tanya sang istri makin ingin tahu. Dengan sabar Nabi menjelaskan,"ingatkah kamu pada suatu ketika suamimu datang dalam keadaan sangat lapar dan meminta disediakan makanan? Engkau menghidangkan sepotong roti yang telah dicampur dengan daging. Namun, tatkala hendak dimakannya, tiba-tiba seorang musafir mengetuk pintu dan meminta makanan. Suamimu lantas membagi rotinya menjadi dua potong, yang sebelah diberikan kepada musafir itu. Dengan demikian, pada waktu suamimu akan nazak, ia menyaksikan betapa besarnya pahala dari amalannya itu. Karenanya, ia pun menyesal dan berkata ' kalau aku tahu begini hasilnya, musyafir itu tidak hanya kuberi separoh. Sebab andaikata semuanya kuberikan kepadanya, sudah pasti ganjaranku akan berlipat ganda. Memang begitulah keadilan Tuhan. Pada hakekatnya, apabila kita berbuat baik, sebetulnya kita juga yang beruntung, bukan orang lain. Lantaran segala tindak-tanduk kita tidak lepas dari penilaian Allah. Sama halnya jika kita berbuat buruk. Akibatnya juga akan menimpa kita sendiri.Karena itu Allah mengingatkan: "kalau kamu berbuat baik, sebetulnya kamu berbuat baik untuk dirimu. Dan jika kamu berbuat buruk, berarti kamu telah berbuat buruk atas dirimu pula."(QS. Al Isra':7)

Inilah indahnya sedekah, di mana kita tidak hanya mendapatkan balasan berlimpah di dunia tapi juga pahala berlimpah di akhirat. Dengan ini, satu hal yang perlu ditegaskan bahwa bersedekah hendaknya tidak usah menunggu harus kaya, karena semakin kaya seseorang biasanya ia semakin rakus terhadap harta. Bersedekahlah walau hanya dengan air putih. Dalam hal ini, Islam tidak melarang umatnya untuk kaya tetapi Islam mengajarkan kepada umatnya mengenai pandangan yang benar terhadap kekayaan. Harta bukanlah tujuan melainkan harta adalah sarana untuk pengabdian kita kepada-Nya. Bertitik tolak dari hal ini, hendaknya paradigma kita harus diubah, jika selama ini bisa mendapatkan pemberian adalah nikmat, maka sebenarnya bisa memberi pemberian itu juga nikmat. Jika selama ini dapat memperoleh pinjaman adalah nikmat, maka dapat memberikan pinjaman itu juga nikmat. Bukankah tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah? Jika salama ini menyaksikan orang lain bahagia merasa sedih dan iri, maka merasakan orang lain bahagia kita juga ikut bahagia.